Jagung Dipaksakan, Sawit Diharamkan, Logika Ekonomi yang Menyesatkan?
- account_circle Novrizal R Topa
- calendar_month Jum, 20 Jun 2025
- visibility 13
- comment 0 komentar

Oleh: Novrizal R Topa
(Eks Karyawan Pt Hindoli a Cargill Company/PMA Kelapa Sawit di Sumatera Selatan).
NUANSAMEDIA.COM – Di sebuah sudut negeri yang katanya kaya sumber daya alam, rakyat mulai bertanya-tanya: kenapa kita harus terus-menerus menanam jagung, sementara yang menanam tidak menjadi kaya, dan yang membeli jagung pun tidak selalu ada? Lebih ironis lagi, ketika ada investor yang ingin membuka kebun sawit, dimana yang secara nasional terbukti mendatangkan devisa dan lapangan kerja, justru ditolak mentah-mentah. Penolakan itu bahkan dibumbui dengan sumpah adat dan stigma, seolah sawit adalah malapetaka yang hendak mengutuk tanah ini.
Jagung yang Tak Semanis Rasanya
Jagung, dari sisi agronomis, memang relatif mudah ditanam. Namun mari kita jujur: harga jagung di tingkat petani saat panen raya anjlok. Di banyak daerah, petani hanya bisa menjual jagung pipilan kering seharga Rp3.000–Rp4.000 per kilogram, padahal biaya produksi per hektare bisa mencapai Rp10–12 juta. Harga pupuk yang tinggi, akses pasar yang minim, dan fluktuasi harga yang tidak bisa dikendalikan membuat jagung menjadi pilihan yang tidak lagi menguntungkan dalam jangka panjang.
Namun entah kenapa, program “gerakan tanam jagung” tetap didorong dan dipaksakan. Tanpa kajian pasar yang matang, pemerintah daerah bahkan sering mewajibkan kelompok tani atau ASN untuk ikut serta. Slogan-slogan kemandirian pangan menggema, tapi yang terasa oleh petani justru keterpaksaan, bukan keberdayaan.
Sawit yang Diharamkan: Ketakutan atau Ketidaktahuan?
Berbanding terbalik dengan itu, kelapa sawit justru dianggap sebagai ancaman. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, ekspor minyak kelapa sawit (CPO) menyumbang lebih dari USD 23 miliar terhadap devisa negara. Industri ini menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung dan tidak langsung di Indonesia.
Lalu mengapa di tingkat daerah investor sawit justru ditolak? Beberapa pihak berdalih bahwa sawit merusak lingkungan, membawa konflik sosial, dan mengancam kearifan lokal. Ya, semua kekhawatiran itu valid, jika tidak dikelola dengan baik. Tapi bukankah itu tugas kita bersama? Membangun sistem pengawasan, mendorong kemitraan petani-plasma, memastikan investor taat hukum, dan memberdayakan masyarakat lokal sebagai bagian dari rantai pasok.
Perekonomian Daerah yang Goyah
Saat ini, banyak pemerintah daerah dihadapkan pada kondisi fiskal yang memprihatinkan. Transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat dipangkas, dan kebijakan efisiensi anggaran menjadi keniscayaan. APBD tidak lagi mampu menopang semua beban pembangunan. Bahkan program infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi rakyat mulai dikurangi atau dihentikan.
Dalam kondisi ini, menolak investor masuk sama saja dengan menolak bantuan oksigen di tengah sesak napas. Bukankah investasi swasta, termasuk sawit, bisa menjadi pengungkit ekonomi baru? Memberi pekerjaan bagi ribuan orang, menumbuhkan ekonomi sirkular, dan bahkan bisa menyumbang pendapatan asli daerah (PAD)?
Rakyat Menjerit, Pemerintah Sibuk Membungkus Gagasan Lama
Sementara itu, suara rakyat makin lirih. Harga kebutuhan pokok naik, biaya pendidikan dan kesehatan tak kunjung ringan, dan lapangan pekerjaan semakin sempit. Banyak anak muda berbondong-bondong ke kota atau ke luar daerah karena tak melihat masa depan di kampung sendiri. Tapi yang mereka tinggalkan justru sumber daya yang belum dikelola secara optimal.
Jika jagung menjadi komoditas wajib tapi tidak memberikan nilai tambah yang signifikan, dan sawit yang potensial membawa perputaran ekonomi jangka panjang dilarang masuk, lantas ke mana arah pembangunan ini?
Saatnya Berpikir Rasional, Bukan Emosional
Menolak sawit hanya karena “leluhur kita tidak menanam sawit” bukanlah alasan rasional dalam merancang masa depan. Leluhur kita juga tidak menulis di media sosial, tidak menggunakan listrik, tidak naik motor. Tapi kita tak bisa menolak perubahan zaman.
Yang harus dilakukan bukan menolak atau menerima mentah-mentah, melainkan mengelola dengan cerdas. Pemerintah daerah seharusnya menyusun regulasi tegas, mendampingi masyarakat, dan membuka ruang dialog agar potensi investasi termasuk sawit, bisa dinikmati bersama.
Kita tidak butuh slogan baru, kita butuh keberanian untuk menata masa depan dengan pilihan yang logis. Sebab rakyat butuh makan, bukan mimpi. Butuh pekerjaan, bukan retorika.
- Penulis: Novrizal R Topa